Sabtu, 19 Mei 2012

Manajemen Agroindustri Susu




Naiknya harga susu kaleng belakangan ini, ternyata tidak membuat para peternak sapi perah ikut menikmati kenaikan harga tersebut. Mereka tetap memperoleh harga yang sama dengan sebelum ada kenaikan harga susu kaleng. Harga per liter susu segar di tingkat petani, berkisar antara Rp 1.250,- sampai dengan Rp 5.000,- per liter, tergantung dari kualitas, dan pranko mana diterima pembeli. Semakin jauh lokasi peternakan dari penampungan hasil susu peternak yang sudah ditentukan, semakin rendah harganya. Semakin dekat semakin tinggi. kalau peternak mengangkut produk itu sendiri ke lokasi konsumen, maka harganya akan semakin tinggi.

Manajemen peternak sapi perah yang cukup baik ada di Pangalengan, Kabupaten Bandung. Di sini ada Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS), sebuah koperasi produksi, yang anggotanya terdiri dari para peternak sapi perah. Di sentra peternakan sapi perah lain, koperasinya adalah Koperasi Unit Desa (KUD) Susu. Di sentra yang ditangani KUD Susu, peternaknya banyak yang mengeluh, karena harga susu selalu ditekan, sementara kebutuhan petani jangan bisa diakomodasi. KUD Susu lebih berfungsi sebagai pedagang, yang hanya berusaha menguntungkan para pengurus. Sementara para petaninya sulit untuk bisa lepas dari jeratan KUD Susu, yang perilaku pengurusnya, lebih mirip dengan tengkulak.

Para peternak sapi perah di Pangalengan, tergabung dalam kelompok-kelompok peternak, yang masing-masing memperoleh bimbingan teknis dari KPBS. Tiap pagi dan sore sehabis pemerahan, para peternak ini berbondong-bondong menuju ke lokasi penampungan susu. Di sini sudah ada truk tangki yang menunggu. Susu peternak diperiksa kualitasnya, kemudian ditakar, dan dimasukkan ke dalam tangki stainless steel. Petani lalu menerima uang cash sesuai dengan volume, dan kualitas susu yang dihasilkan, serta standar harga pada saat susu disetor. Tahun 1980an memang pernah terjadi penurunan harga susu, hingga para peternak sangat dirugikan. Sekarang peternak di Pangalengan sudah punya banyak usaha industri rakyat untuk mengolah susu hasil peternakan mereka.

Usaha peternakan sapi perah memang mutlak memerlukan organisasi. Kalau tidak, maka usaha ini menjadi sangat tidak efisien. Sebab susu yang dihasilkan peternak, harus di kontrol, dithreatment, kemudian diangkut dengan tangki stainless steel, sejauh ratusan kilometer menuju pabrik. Investasi unit threatment, armada angkutan, kantor, sarana komunikasi dan lain-lain, tidak mungkin dimiliki peternak skala kecil sendirian. Dengan mengelompok dan membentuk koperasi yang menjadi milik mereka, dan mereka kelola sendiri, maka agroindustri susu rakyat itu bisa menjadi efisien. Hasil susu rakyat, selama ini kurang dari 15 liter per ekor induk laktasi per hari. Bahkan banyak peternak yang hasilnya kurang dari 10 liter per hari.

Padahal agar agroindustri susu bisa layak diusahakan, hasil rata-rata per hari harus di atas 20 liter. Ada beberapa sebab mengapa hasil agroindustri susu rakyat, tidak bisa optimal. Pertama yang dipelihara adalah sapi perah lokal warisan Belanda, yang sudah mengalami dedradasi genetik. Sapi lokal ini, sebenarnya bisa dikawinkan secara buatan (inseminasi buatan) dengan semen (sperma) sapi jantan unggul, untuk menghasilkan anak dengan sifat-sifat sapi unggul. Upaya ini lebih positif, dibandingkan dengan mendatangkan induk betina sapi perah unggul dari luar negeri. Sebab daya adaptasi sapi unggul yang lahir di kawasan tropis, lebih baik dibandingkan induk betina bakalan yang langsung didatangkan dari negeri sub tropis.

Selain daya adaptasinya kurang, sapi unggul impor ini juga memerlukan pakan dan penanganan dengan standar peternakan modern di negeri maju, yang belum tentu bisa dilakukan sepenuhnya di Indonesia. Di sentra-sentra peternakan sapi perah, program inseminasi buatan ini sudah berlangsung cukup lama, hingga secara genetik kualitas sapi lokal kita sudah terupgrade. Namun tingginya hasil susu tidak hanya sekadar ditentukan oleh faktor genetik. Lokasi pemeliharaan, juga sangat menentukan tingkat produktivitas susu. Sapi perah unggul, selalu berasal dari negeri sub tropis. Hingga di Indonesia, lokasi peternakan sapi perah paling ideal, berada pada lahan dengan ketinggian di atas 1000 m. dpl.

Sapi perah memang tetap bisa dipelihara dan menguntungkan, di lahan dengan ketinggian hampir nol meter dpl. Misalnya di kawasan Karet Kuningan, Jakarta, yang dulunya merupakan sentra peternakan sapi perah untuk dikonsumsi segar. Namun hasil susu dari sapi yang dipelihara di dataran rendah dan menengah ini, harus lebih tinggi dari 8 liter per ekor per hari. Sebab biaya hidup sapi laktasi ditambah sapi non laktasi, setara dengan nilai 8 liter susu. Hingga pemeliharaan sapi perah di dataran rendah, baru menguntungkan apabila susunya akan dipasarkan segar. Kalau susu tersebut akan diolah menjadi susu bubuk atau susu kental manis, maka lokasi pemeliharaannya harus di lahan di atas 1.000 m. dpl.

Lahan di ketinggian di atas 1.000 m. dpl, umumnya berupa perkebunan teh, kopi, atau hutan Perum Perhutani. Hingga ketersediaan hijauan untuk sapi perah, menjadi permasalahan tersendiri bagi para peternak. Kalau seekor sapi dewasa bobot 500 kg, memerlukan 50 kg. hijauan (10% dari bobot hidup), maka sentra peternakan dengan populasi 50.000 ekor, memerlukan hijauan 2.500 ton per hari atau 150.000 ton per dua bulan. Sebab rumput gajah bisa dipanen selang dua bulan. Kalau satu hektar lahan, tiap dua bulan menghasilkan 20 ton hijauan, maka untuk memenuhi kebutuhan 150.000 ton hijauan itu diperlukan lahan monokultur seluas 150.000 : 20 = 7.500 hektar lahan.

Peternak tentu tidak memiliki lahan seluas itu. Hingga untuk mencukupi kebutuhan hijauan alternatifnya adalah membeli dari dataran rendah dan menengah, atau memanfaatkan lahan PTPN dan Perum Perhutani untuk budidaya rumput. Upaya ini tidak mudah, sebab lahan PTPN umumnya berupa perkebunan teh, yang pada lahan di bawah tegakannya tidak banyak dijumpai rumput. Meskipun sudah ketahuan bahwa kebutuhan hijauan merupakan masalah pokok seorang peternak, namun tidak pernah ada solusi untuk meringankan beban mereka. Kredit ternak terus dialirkan, sementara ketersediaan hijauan diabaikan.

Kandang sapi peliharaan para peternak di dataran tingi, umumnya berkondisi kumuh dan juga kotor. Padahal pemerahan susu sapi yang ideal, harus dilakukan di tempat yang bersih dan nyaman. Sapi perah di kandang modern, apabila akan diperah, dikeluarkan dari kandang sebagai tempat tidur mereka, untuk dimandikan dan dicuci ambingnya, sebelum akhirnya dikeringkan kembali dengan lap. Setelah itu, sapi laktasi digiring ke kamar perah. Sesuatu yang ideal ini, sampai sekarang belum banyak diterapkan oleh masyarakat terhadap sapi-sapi mereka. Para peternak ini masih belum mampu menghitung, maka yang secara jangka panjang lebih murah, dan mana pula yang sepintas tampaknya murah, tetapi mengingat jangka waktu penggunaannya, menjadi sangat mahal.

Selain terbatasnya areal lahan untuk budidaya hijauan, agroindustri susu di Indonesia juga terkendala belum adanya pabrik pakan kering. Hingga selama ini sapi perah hanya diberi hijauan dan konsentrat. Padahal limbah selulosa terdapat dalam volume melimpah, yang memungkinkan dibukanya agroindustri pakan ternak ruminansia. Di negara-negara maju yang beriklim dingin, sapi memang hanya makan rumput segar pada musim panas. Setelah itu sepenuhnya mereka makan silase, jerami kering, daun, batang dan kulit singkong, atau bahan-bahan lain yang sudah mengalami pengolahan dan penambahan nutrisi. Bahan yang paling melimpah untuk diolah menjadi silase atau bahan pakan padat adalah jerami padi, batang dan kulit jagung, limbah kacang tanah dan ubijalar.

Di negara maju selulosa itu digiling, dicampur dengan nutrisi (karbohidrat, protein nabati), vitamin dan mineral, lalu dibentuk menjadi pelet, kemudian dikeringkan. Pakan buatan ini bisa diproduksi massal, hingga harganya masih bisa tertutup oleh hasil susu harian. Meskipun diberi pakan buatan, sapi perah tetap memerlukan hijauan. Bahkan idealnya, hijauan itu bisa dimakan langsung oleh sapi di padang gembalaan. Namun di Indonseis, terutama di Jawa, sangat sulit untuk menemukan padang penggembalaan yang cukup luas di kawasan pegunungan. Sebab lahan luas di kawasan ini sudah berupa kebun teh serta kopi, atau berupa hutan yang dikelola Perum Perhutani.

Berbagai permasalahan agroindustri susu ini, tentu akan bisa dicarikan solusinya, apabila para peternak bergabung dalam satu kelembagaan yang solid, yang mereka kelola sendiri. Bukan bergabung dalam KUD, yang dalam praktek tidak pernah mengakomodasi kepentingan peternak. Koperasi, sebenarnya sama saja dengan PT. Dalam PT, para pemegang saham akan memilih anggota dewan komisaris, untuk mewakili mereka. Komisaris akan memilih direktur guna mengelola perusahaan sehari-hari. Para peternak sebagai anggota koperasi, dalam rapat anggota akan memilih dewan pengurus dan pengawas, yang berasal dari mereka sendiri. Pengurus inilah yang bertugas mengangkat direktur atau manajer koperasi, guna mengelola kegiatan sehari-hari. (R)

SUMBER KLIPPING: Foragri

Tidak ada komentar: